Aku dan Negeri Tak Bermanusia
“Begitulah, biarkan menjadi tetap begitu, karna sebenarnya memang seperti itu.”
Aku tak akan berargumen untuk kemunafikan apa lagi berlari dari fakta. Sebab, aku bukan fanah yang diciptakan dunia tuk menjadi wadah kebodohan atau boneka otak seorang binatang. Terus terang saja warna dalam sajakku adalah air mata yang tak sanggup lagi di bendung oleh lautan, amarah yang tak dapat lagi di padamkan senyuman, penuh kebencian dengan mata tajam penuh sayat luka dalam. Ungkapanku hanyalah kata mengadung racun yang siap melenyapkan sabagian waktu entah dalam tidur, mimpi, ataupun dalam sadarmu sendiri.
Aku bukan siapa-siapa hanya seorang kelana yang mencari diri di rimbunnya butiran ditik-detik penindasan intelektual tak punya kuasa untuk bertatap rupa dengan sang peternak tikus berdasi.
Aku hanya seorang pemulung yang mengumpulkan kutipan-kutipan lama untuk santapan esok hari, tak punya daya duduk seatap dengan para kera putih.
Aku hanya pengemis yang meminta pada waktu untuk tetap menjadi saksi sejarah manipulasi ini, ia mungkin sudi membantu pencernaan nalar dalam menemani filsafat untuk bercinta dengan zamanku yang belum tentu arah haluanya.
Aku ingin mengajukan permintaan
Biarlah aku berjalan tanpa hukum yang tak mampu bertutur dengan kebenaran, tak sudi berdampingan dengan kaum kurus, dekil dan tak berjabatan. Lebih memilih asumsi yang bertuan dalam retorika kemunafikan.
Biarkan aku menari dengan dunia tanpa ada identitas. Sebab, tak ada yang sanggup memahami apa kesadaran dan jalan hidupku yang tak mampu menyuapi orang lain dengan uang.
Aku hanya seorang perempuan penonton di pinggir trotoar jalan yang lesu bukan karna tak berisi tapi argumen dan nalarku tak sekuat strategi picik para penguasa. Aku tak tau cara bersaing dalam korupsi, bernyanyi dengan para petinggi negeri di depan media, mataku tertutup bukan karna aku tak mampu untuk membukanya, namun sangat di sayangkan bila dia harus merekam para binatang yang sedang mengumbar aibnya sendiri.
Inilah aku dengan negeri tanpa manusia
“Jangan tanyakan mengapa, kau pasti sudah tau jawabannya.”
Manusia punya akal tapi tidak di negeri ini akal mereka adalah kekuasaan bahkan membunuh saudaranya sendiri ia tak gemetar, saat merampas uang saudaranya sendiri ia tak merasa iba.
Manusia merasakan banyak rasa malu tapi di negeri ini bahkan rasa malu tak ada lagi saat ia terdakwah sebegai seorang pembunuh, pelecehan, korupsi, dan tindak keriminal lainnya mereka tidak malu tampil di depan media dengan senyum anarkisnya sungguh kaum perusak.
Hatiku masih bernafas pada saat itu namun sekarat di sayat carita esok lalu
Mulutku tidak bisu namun ia gemetar tak sanggup melontarkan apa-apa di bungkam oleh sih pembalik fakta
Telingaku tak tuli hanya ia di sumbat oleh bualan manis dari mulut besar orang ateis
Keluargaku kini hidup penuh hinaan dan mati oleh kuasa lalu kini liberalnya masih di pertanyakan sebab malang nasibnya di tindas orang negeri sendiri.
Aku ingin membawanya lari dari semua ini mebentuk sebuah istana baru agar ku dapati lagi senyum kecil malaikat manis dan rasa kemanusiaan manusia bukan lagi belas kasih binatang apa lagi bualan ateis. Untuk hidup yang penuh ketertiban sosial, bebas tanpa penindasan dimana kekuasaan dan harta telah menjadi tolak ukur kepantasan dan jabatan seseorang baik dalam bersuara di pemerintahan atau pun masayarakat.
Salam merdeka,
Muhammad Fauzan,
On Blogger since, 2020
Manusia Merdeka