Muhammad Fauzan
Muhammad Fauzan Gue biasa dipanggil “Ozan” lahir dengan sehat pada tanggal 17 Mei 2000, Gue kuliah di UIN Alauddin Makassar, Jurusan Sistem Informasi. Facebook Twitter Instagram

Andai Saya Bisa Menulis Lagi

No comments




Nyaris satu tahun

Nyaris satu tahun saya tidak menulis lagi. Saya ingat terakhir kali menulis dan diterbitkan di koran adalah pada pertengahan bulan Februari yang lalu. Itu pun tulisan resensi dan hanya tayang di media lokal. Pada bulan-bulan selanjutnya, tak satupun karya tulis yang dapat diselesaikan secara sempurna. Saat hendak menulis, secara tiba-tiba pikiran menjadi kosong dan tak mampu memproduksi sepatah kata pun.

Ini sangat menggelisahkan. Apa yang menyebabkannya terjadi bukanlah semata kemalasan. Meski memang ada rasa malas, tetapi sebenarnya kedala besarnya adalah "pikiran saya sedang tidak tenang." Banyaknya hal yang saya pikirkan menjadi tekanan tersendiri bagi batin saya dan itu sering kali mengganggu konsentrasi. Suatu kali saya menemukan kebijaksanaan yang elok jika dituang ke dalam tulisan, tetapi kemudian buyar karena beralih memikirkan hal lain.

Kemandekan ini merupakan pencapaian paling rendah dalam hidup saya. Hari-hari banyak diisi dengan kegiatan merebahkan diri ke lantai atau kasur, diselimuti rasa khawatir yang berlebihan bagaimana jika ini berlangsung selamanya. Apa kemudian dampaknya? Saya semakin cemas. Bukan memikirkan apakah dengan ini, kemungkinan untuk sukses kelak sangat kecil atau besar kemungkinan saya hidup sengsara, tetapi bahkan saat ini, saya memang amat sengsara.

Seorang kawan saya berkata: mandek (dalam menulis) itu hanya alasan bagi orang lelah dan tidak mau berusaha memulainya lagi. Saya sangat setuju itu. Ia adalah seorang penulis puisi yang karya sudah dimuat di beberapa koran lokal seperti Harian Kabar Madura, Bangka Pos, dll. Dalam hal produktivitas, saya mengacunginya dua jempol. Ia sangat produktif menulis puisi, yang dalam satu minggu bisa dimuat dalam dua media baca. Tetapi, barangkali pikirannya tenang sehingga dengan mudah mengolah kata-kata. Dan ia belum merasakan bagaimana susahnya merangkai satu kalimat bagi orang yang pikirannya buntu, panik dan tertekan.

Kondisi pikiran yang sulit

Kondisi pikiran lebih sulit dihadapi daripada fisik. Kita mengalami luka fisik, sangat mudah mengobatinya dengan beberapa alat bantu kesehatan atau obat-obatan. Ketika tubuh sedang lelah, tinggal kita tidur selama beberapa jam dan selepas bangun, rasa lelah pun hilang. Tangan terasa pegal karena terlalu lama menulis atau mengetik, kita bisa istirahat sejenak dan memijatnya. Intinya, kondisi fisik dan terlalu berdampak buruk.

Mengenai kondisi fisik, saya jadi ingin bercerita tentang Stephen Hawking, seorang Ilmuwan tersohor asal Inggris yang menemukan lubang hitam di luar angkasa atau disebut black hole. Dalam sebuah film berjudul Theories of Everything, Hawking yang diperankan oleh Eddy Redmare, mengalami kelumpuhan hampir pada semua organ tubuh karena menderita penyakit bernama Amyotrophic Lateral Sceloris (ALS) sejak usia 21 tahun. Penyakit itu membuatnya tidak bisa bergerak dan kemudian tidak bisa berbicara. Dalam masa terpuruk itu, ia frustasi.

Keadaan Hawking mengundang simpati tidak hanya dari keluarganya, melainkan orang-orang yang menyadari kejeniusannya. Suatu hari ia mendapat bantuan alat bernama Permobil F3 yang dikembangkan oleh Perusahan Intel untuk menbantunya berbicara. Ia mengoperasikannya melalui otot pipi karena tangannya lumpuh. Saat menyadari ada alat itu cukup membantu untuk menyampaikan isi pikirannya, kalimat pertama yang dilontarkannya adalah, "Saya ingin menulis buku."

Begitu mudah baginya dengan kondisi cacat fisik, bercita-cita menulis sebuah buku. Dan selesailah buku itu dengan judul A Brief History of Time. Tentu ini pencapaian yang luar biasa. Di mana-mana, orang yang sangat sehat sekalipun banyak tidak mampu membuat tulisan seperti itu. Saya termasuk orang yang berfisik sehat, bisa makan dengan teratur, berjalan dan bekerja. Tetapi membuat satu karya tulis pendek seperti esai dan cerpen saja tak sanggup. Apakah ini sebuah kehinaan?

Kita harus mengerti bahwa pada pengalaman hidup Hawking di atas, yang bermasalah adalah fisiknya saja. Sedangkan belum tentu jiwanya atau pikirannya. Orang dengan pikiran yang sehat mungkin bisa hidup tenang meski dengan kondisi fisik yang cacat. Tetapi, bisakah kita menjamin ketenangan hidup bagi orang pikirannya penuh tekanan meski keadaan fisiknya sehat?

Mengakhiri hidup yang tidak tenang

Salah satu contoh adalah Chester Bennington, vokalis Linkin Park yang meninggal pada tahun 2017 karena bunuh diri. Ia sehat dan mempunyai suara metal yang bagus. Tetapi siapa sangka bahwa ia mempunyai beban pikiran yang membikin hidupnya tidak tenang? Kemudian, ia memilih mengakhiri hidupnya untuk "meringankan" beban itu.

Di sini kita melihat bahwa dalam kondisi pikiran yang karut-marut, tak ada yang bisa dilakukan. Seperti halnya pikiran saya yang penuh dengan tekanan, baik tekanan dari organisasi yang saya geluti, tekanan ekonomi ataupun tugas kampus, saya menjadi sulit melakukan apa-apa. Konsentrasi saya selalu buyar dan sering merasa panik. Dalam keadaan, Anda tahu, banyak orang mengalami kegagalan.

Saya ingin sekali membuang rasa panik itu. Saya selalu bayangkan hidup tenang dengan udara segar dan di situ kalimat-kalimat bisa terajut dengan rapi dan indah. Di suatu pagi, ditemani secangkir kopi, dan laptop, saya menyusun kalimat demi kalimat menjadi sebuah karya tulis yang sempurna. Betapa bahagianya!

Tetapi, itu tidak terjadi pada hidup saya saat ini. Makanya beban yang menumpuk di pikiran saya harus dilepas dahulu dan perlu mencari suasana yang tenang. Dengan begitu, mudah-mudahan saya bisa kembali menulis dan tidak hanya bergumam, "Andai saya bisa menulis lagi."

Salam merdeka,
Muhammad Fauzan,
On Blogger since, 2020

Muhammad Fauzan
Muhammad Fauzan Gue biasa dipanggil “Ozan” lahir dengan sehat pada tanggal 17 Mei 2000, Gue kuliah di UIN Alauddin Makassar, Jurusan Sistem Informasi. Facebook Twitter Instagram

Comments

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, !